Alasan Untuk Tidak Berkabung Terlalu Lama

Secara personal, saya sendiri belum pernah merasakan kedukacitaan yang luar biasa akibat ditinggalkan seseorang yang sangat saya kasihi. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, saya mulai melihat adanya teman maupun saudara yang ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya. Kematian yang awalnya terasa jauh sekali, kini tiba-tiba dekat, ada di sekitar kita. Tentu saya mengerti bahwa memang ada kematian yang merupakan akhir dari kehidupan, tetapi merasakannya, dan melihat orang lain yang mengalami dampak langsung, adalah suatu pengalaman yang sangat berbeda.

Saya pernah mendengar suatu kalimat yang membuat saya terkejut. Suatu perasaan kesedihan atau ratapan tidak muncul di sepanjang rumah duka. Melainkan muncul pada 2 momen, yaitu pada saat peti ditutup, dan saat dikubur/kremasi. Memang benar bahwa kita telah ditinggalkan saat orang tersebut meninggal. Tetapi waktu kita masih di rumah duka, kita masih bisa melihat langsung tubuh orang tersebut, terasa sepertinya orang itu masih ada di sekitar kita. Memang dia diam dan tidak bisa berbuat apa-apa, tapi (He or she is still there) dia masih ada di sana.

Namun pada momen peti itu ditutup dan kita tidak lagi bisa melihat wajahnya, kita menyadari bahwa dia sudah tidak ada lagi. Kemudian pada waktu peti itu dikubur atau dibakar, kita baru sadar sepenuhnya bahwa ia telah pergi meninggalkan kita. Itu sebabnya ratapan dukacita itu terjadi bukan saat pemakaman, melainkan waktu kita sedang sendiri. Di ruangan yang biasanya dia ada, tetapi kini kosong, hanya tinggal kita sendiri saja.

Tetapi janganlah kita tenggelam dalam dukacita itu sendiri terlalu lama. Bukankah kita sepatutnya mengerti bahwa di saat kita berdukacita karena ditinggalkan, di saat yang sama, kita sepatutnya bersukacita karena dia telah pergi ke tempat yang lebih baik, dan tinggal bersama dengan Tuhan?

Ada 2 buku yang pernah saya baca, dan keduanya baik sekali dalam memberikan insight mengenai kedukacitaan, yaitu Facing Grief yang ditulis oleh John Flavel, dan Letters of Samuel Rutherford.
Mereka mengingatkan kita mengenai apa itu kematian, dan alasan-alasan kenapa kita sepatutnya tidak berkabung terlalu lama.

Dalam dua-tiga bulan terakhir, saya beberapa kali hadir di rumah duka yang diadakan oleh keluarga Kristen. Sekalipun mereka berduka karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, tetapi ada suatu perasaan sukacita juga karena mereka mengetahui orang yang mereka kasihi itu, sekarang berada di tempat yang lebih baik.

Seorang Kristen tidak melihat kematian sebagai sesuatu akhir yang menakutkan. Melainkan melihatnya sebagai seseorang yang telah mencapai garis akhir di dalam perjalanannya. Jika kita melihat kematian hanya sebagai akhir, tentu kita memiliki alasan untuk terus meratap dan berdukacita.

Tanggal 23 April 1628, Rutherford mengirimkan surat kepada seorang ibu yang berdukacita karena ditinggalkan oleh seorang anak perempuannya. Ada beberapa kalimat yang begitu mengagetkan saya.

"Remember of what age your daughter was, and that just so long was your lease of her. If she were eighteen, nineteen, or twenty years old, I know not, but sure I am, seeing her term was come, and your lease run out, you can no more justly quarrel against your great Superior for taking his own, at his just term-day, than a poor farmer can complain, that his master taketh a portion of his own land to himself, when his lease is expired."

Mari kita mengingat berasa usia orang yang kita kasihi itu, berapa lama kita telah mengenal dia? Sepanjang itulah kita telah telah menyewa dia. Kata sewa mungkin terlihat begitu keras dan menyinggung, tetapi kata itu tepat, karena dia memang tidak pernah menjadi milik kita. Dia tetap milik Tuhan yang di dalam kesementaraan ini dipinjamkan atau disewakan untuk kita saja.

"Think her not absent who is in such a friend's house. Is she lost to you who is found to Christ? If she were with a dear friend, although you should never see her again, your care for her would be but small. Oh, now is she not with a dear friend, and gone higher, upon a certain hope that you shall in the resurrection see her again, when she shall neither be hectic nor consumed in body!"

Saya yakin kita semua mengerti dan bahkan memiliki pengalaman terkait penjelasan di atas. Saya mengingat sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Saat itu kakak saya memiliki rencana untuk pergi ke Australia untuk Working and Holiday. Pada awalnya dia mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke kota Perth, bahkan sudah membeli tiket sejak jauh-jauh hari. Tetapi kemudian pihak keluarga kami begitu kocar-kacir waktu mendengarnya. Mendengar dia mau pergi saja sudah mengejutkan, apalagi ke kota yang begitu jauh tanpa mengenal siapa-siapa.

Tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain, akhirnya dia mengganti haluan ke Sydney. Setelah mengetahui rencana mau ke Sydney, pihak keluarga menjadi tenang, lega dan mengizinkannya. Bukan masalah kota tujuannya, melainkan karena adanya keluarga di sana. Kotanya tidak lebih tidak berbahaya, tetapi memiliki seseorang yang kredibel, bisa dipercaya untuk menitipkan orang yang kita kasihi sungguh memberikan perasaan kelegaan yang luar biasa.

Rutherford kembali mengingatkan kita, di waktu kita mungkin sedang tenggelam di kedukacitaan kita. Mengapa kita bersedih? Bukankah kalau orang itu dititipkan ke teman dekat, keluarga, kita akan menjadi tenang? Tetapi jangan lupa, melalui kematian ini, kini dia telah bersama seseorang yang jauh lebih tinggi dari teman atau kerabat dekat kita. Ia kini telah bersama dengan Tuhan, sang pencipta kita. Mengapakah kita kuatir?

"Follow her, but envy her not; for indeed it is a self-love in us that maketh us mourn for them that die in the Lord. Why? Because for them we cannot mourn, since they are never happy till be dead; therefore we mourn on our own private account. Take heed then, that in showing your affection in mourning for your daughter, you be not, out of self-affection, mourning for yourself."

Kalimat yang dikatakan oleh Rutherford begitu keras. Dia mengingatkan kita bahwa jika kita terus menerus berdukacita, itu disebabkan oleh cinta kepada diri sendiri, bukan cinta kepada orang tersebut. Mengapa? Karena jika kita sungguh-sungguh memikirkan tentang dia, kita harus sadar bahwa dia tidak akan benar-benar bahagia kalau tidak meninggalkan kita dan pergi ke pencipta.

"Prepare yourself; you are nearer your daughter this day than you were yesterday. While you prodigally spend time in mourning for her, you are speedily posting after her. Run your race with patience; let God have his own, and ask of him, instead of your daughter, whom he hath taken from you, the daughter of faith, which is patience; and in patience possess your soul."

Nasihat terakhir dari Rutherford mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri kita sendiri. Kita hari ini, lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan kita kemarin. Janganlah kita tenggelam dalam kedukaan, melainkan jalani perjalanan kita sendiri dengan kesabaran. Berhenti meminta orang yang telah meninggalkan kita itu, mintalah pribadi Tuhan sendiri.

Kirannya kita boleh semakin mengerti apa itu kematian, dan mengapa kita tidak seharusnya berkabung terlalu lama.


Dino
Sydney, 23 Juli 2018

Comments

Post a Comment

Popular Post

6 ciri-ciri pertobatan yang sejati

My Experience - Food Combining VS Autoimmune

Food Combining Changed My Life