Gelar Tinggi? Buat Apa?
Pagi ini, dalam khotbah di gereja, terdapat sebuah cerita yang sangat menarik. Cerita tersebut berisi tentang seorang pendeta dari gereja kami yang selesai studi master di Yale University. Seperti yang kita semua ketahui, Yale adalah salah satu universitas yang terkenal di dunia. Singkat cerita, setelah menyelesaikan studinya, akhirnya beliau kembali ke Jakarta. Beliau bercerita mengenai betapa luar biasanya pendidikan di universitas tersebut. Pengajaran materi yang diberikan oleh para profesor disana sungguh pandai luar biasa, tapi di sisi lain justru memiliki masalah moral yabg tidak kalah luar biasa. Bagaimana bisa, seorang profesor pengajar etika malah bercerai dan kemudian menikah dengan mahasiswinya sendiri? Muncullah sebuah kalimat dari Pdt. Stephen Tong selaku pengkotbah, "Layakkah orang yang tidak memiliki etika seperti itu, mengajarimu masalah etika?"
Kalimat tersebut seperti memukul kita. Dikala pendidikan makin tinggi, tapi moral terus terjun bebas. Buat apa belajar sampai S1, S2, dan S3 tapi tidak memiliki moral yang bobrok? Saat ini saya sedang mengerjakan skripsi S1, sekaligus memulai studi tentang S2. Keputusan untuk melanjutnya studi ke jenjang yang lebih tinggi (S2), saya ambil setelah berbicara panjang bersama guru sekaligus dosen saya. Selain untuk mendalami dunia marketing communication, tujuan saya mengambil S2 ini adalah agar menjadi lebih bijak.
Pada waktu mengobrol, guru saya mengajarkan bahwa tujuan studi S2 adalah untuk menjadi bijaksana. Artinya adalah kita menjadi bijaksana dalam bertindak dan juga dalam menggunakan pengetahuan yang kita miliki. Beliau bercerita, bagi orang-orang yang telah memiliki pendidikan S3, saat menguji skripsi S1, jika boleh jujur dalam kalimat pertama saja mungkin sudah salah. Namun bukan itu pointnya, yaitu kita mencari-cari dimana kelebihan sang mahasiswa. Mungkin dalam gaya penulisan dia kurang baik, tapi ada bagian dimana dia sangat baik, itu yang kita fokuskan, bukan cari-cari kesalahan orang lain. Tindakan seperti itulah yang dimaksud "Bijaksana dalam menggunakan ilmu pengetahuan yang kita miliki".
Jika kita berhadapan dalam kondisi di ruang publik, kemudian ada seorang tokoh yang berbicara mengenai suatu hal yang kita ketahui salah, baiknya tidak langsung sok ngajarin di depan publik. Toh dia juga memiliki muka kan? Kritik yang baik terjadi dalam pembicaraan 4 mata, pemberian kritik yang dilakukan depan publik dengan tujuan membuat malu, ujungnya hanya akan menimbulkan kebencian serta dendam. Sebaliknya, kritik yang jujur dan tujuannya membangun, akan sangat dihargai dan mempererat hubungan. Tapi saya juga tegaskan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, pemberian kritik perlu juga dilakukan di depan publik. Dalam hal ini memang diperlukan lagi kebijaksanaan dalam melakukan tindakan.
Besar sekali bahaya jika seseorang dengan gelar akademis sedemikian tinggi, tapi tidak memiliki bijaksana. Untuk mencapainya, tidak harus juga belajar habis mengenai sejarah2, teologi dan juga filsafat (meskipun sangat diakui yang belajar lebih baik). Gelar tinggi yang tidak memiliki moral, hanya fokus kepada pencarian profit buat diri sendiri yang tidak habis-habis. Modelnya jadi seperti penindasan kaum Proletar oleh Borjuis dalam teori Marx gitu deh. Makanya tidak heran jika ketua MK yang pendidikan akademis sedemikian tinggi, bisa jatuh dalam kasus korupsi. Gelar tinggi tidak berarti moral juga ikut tinggi, malah lebih sering orang yang ekonomi serta pendidikan rendah, justru menjadi orang yang luar biasa moralnya.
Jadi, buat apa sekolah tinggi-tinggi?
Dino
12/10/2014
Comments
Post a Comment