Bolehkah Makan Hasil Persembahan Agama Lain? (Refleksi Kitab 1 Korintus Pasal 10: 26 - 32)
Pada sore hari ini dalam persekutuan pemuda GRII Sydney, Pdt. Agus Marjanto menyinggung 1 Korintus 19:31, di mana tertulis bahwa "Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah". Setelah menjelaskan apa yang dimaksud dalam ayat ini, beliau membuka sesi tanya jawab.
Saya pribadi merasa sangat tertarik pada pasal ini, khususnya di ayat sebelumnya. Mengapa? Karena hal yang dibahas dalam kitab ini sangat umum dan kita hadapi sehari-hari, yaitu mengenai makanan. Untuk sekedar memberikan sebuah gambaran, saya akan melampirkan potongan dari pasal ini yang menyinggung langsung mengenai makanan.
ayat 27: Kalau kamu diundang makan oleh seorang yang tidak percaya, dan undangan itu kamu terima, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu, tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani.
ayat 28: Tetapi kalau seorang berkata kepadamu: "Itu persembahan berhala!" janganlah engkau memakannya, oleh karena dia yang mengatakan hal itu kepadamu dan karena keberatan-keberatan hati nurani.
ayat 29: Yang aku maksudkan dengan keberatan-keberatan bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain itu. Mungkin ada orang yang berkata: "Mengapa kebebasanku harus ditentukan oleh keberatan-keberatan hati nurani orang lain?
skip to 32
ayat 32: Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah.
Saya kemudian mengingat bahwa beberapa tahun lalu saat sedang makan bersama-sama dengan keluarga besar, muncul sebuah pertanyaan "Makanan ini kan udah buat sembahyang tadi, boleh lu makan?". Saat itu saya tidak ambil pusing, saya mengacu kepada prinsip bahwa semuanya sudah halal untuk dimakan (Mengacu kepada Matius 15:11). Namun sekarang, saat saya membaca bagian ini, saya menyadari bahwa ada elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam memakan hasil persembahan agama lain, yaitu keberatan hati nurani orang lain. Sayapun akhirnya mengajukan pertanyaan seputar contoh kasus ini.
Berikut adalah jawaban yang diberikan, mengacu kepada konteks dan maksud dari penulisan bagian tersebut. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam mengambil keputusan, yaitu: Berhala, Teman Seiman, dan Hati Nurani.
Contoh terapan:
1. Dari sisi kita oke saja, dan dari sisi pemberi makanan juga biasa saja (Boleh dimakan)
2. Dari sisi kita oke, tapi dari sisi pemberi makanan tidak menyukai kita memakannya / menganggap bahwa dengan kita memakan masakan tersebut, sama halnya kita juga menyembah (Jangan dimakan)
3. Dari sisi kita oke, sisi pemberi makanan oke, tapi teman seiman kita tidak setuju/menerimanya (Jangan dimakan, daripada nanti akan membuat syak di hati teman tersebut)
Khotbah Persekutuan Pemuda GRII Sydney - 27 Mei 2017
Saya pribadi merasa sangat tertarik pada pasal ini, khususnya di ayat sebelumnya. Mengapa? Karena hal yang dibahas dalam kitab ini sangat umum dan kita hadapi sehari-hari, yaitu mengenai makanan. Untuk sekedar memberikan sebuah gambaran, saya akan melampirkan potongan dari pasal ini yang menyinggung langsung mengenai makanan.
ayat 27: Kalau kamu diundang makan oleh seorang yang tidak percaya, dan undangan itu kamu terima, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu, tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani.
ayat 28: Tetapi kalau seorang berkata kepadamu: "Itu persembahan berhala!" janganlah engkau memakannya, oleh karena dia yang mengatakan hal itu kepadamu dan karena keberatan-keberatan hati nurani.
ayat 29: Yang aku maksudkan dengan keberatan-keberatan bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain itu. Mungkin ada orang yang berkata: "Mengapa kebebasanku harus ditentukan oleh keberatan-keberatan hati nurani orang lain?
skip to 32
ayat 32: Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah.
Saya kemudian mengingat bahwa beberapa tahun lalu saat sedang makan bersama-sama dengan keluarga besar, muncul sebuah pertanyaan "Makanan ini kan udah buat sembahyang tadi, boleh lu makan?". Saat itu saya tidak ambil pusing, saya mengacu kepada prinsip bahwa semuanya sudah halal untuk dimakan (Mengacu kepada Matius 15:11). Namun sekarang, saat saya membaca bagian ini, saya menyadari bahwa ada elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam memakan hasil persembahan agama lain, yaitu keberatan hati nurani orang lain. Sayapun akhirnya mengajukan pertanyaan seputar contoh kasus ini.
Berikut adalah jawaban yang diberikan, mengacu kepada konteks dan maksud dari penulisan bagian tersebut. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam mengambil keputusan, yaitu: Berhala, Teman Seiman, dan Hati Nurani.
Contoh terapan:
1. Dari sisi kita oke saja, dan dari sisi pemberi makanan juga biasa saja (Boleh dimakan)
2. Dari sisi kita oke, tapi dari sisi pemberi makanan tidak menyukai kita memakannya / menganggap bahwa dengan kita memakan masakan tersebut, sama halnya kita juga menyembah (Jangan dimakan)
3. Dari sisi kita oke, sisi pemberi makanan oke, tapi teman seiman kita tidak setuju/menerimanya (Jangan dimakan, daripada nanti akan membuat syak di hati teman tersebut)
Khotbah Persekutuan Pemuda GRII Sydney - 27 Mei 2017
Comments
Post a Comment