Berpikir rasional, baikkah?

Selama 20 tahun hidup, tentu saja banyak pengalaman yang pernah terjadi. Setiap pengalaman yang pernah menimpa kita pasti akan membuat kita menjadi seseorang yang "berbeda". 

Saat ini saya adalah seorang mahasiswa Jurusan Advertising di LSPR Jakarta. Entah bagaimana saya bisa berakhir kuliah dan jurusan yang saya jalani sekarang ini. Tidak pernah ada pikiran sebelumnya bahwa akan masuk kedalam kampus ini dan akhirnya memilih jurusan Advertising ini.

Pertanyaannya, menyesalkah? Menyesalkah masuk ke Jurusan Advertising? Katanya jurusan yang kerjaannya nipu loh? 

Baru saja kemarin saya pergi ke Gereja Reformed Injili di cabang Kebun Jeruk. Disana hamba Tuhan Pdt. Aiter mengkotbahkan Kitab 2 Samuel mengenai Daud. Beliau menjelaskan ada kalimat yang sungguh luar biasa didalam pasal tersebut yang berbunyi: "Lalu taulah Daud..."

Sangat menyenangkan sepertinya jika kita melakukan sesuatu, memilih sesuatu, lalu dikemudian hari kita baru dapat mengerti dan bisa berkata "Taulah saya, kenapa saya dulu begini, begitu dll".

Selama 3 tahun ini, Tuhan telah mengenalkan saya dengan begitu banyak hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Bertemu dengan seorang hamba Tuhan, Pdt. DR. Stephen Tong, mengenal gerakan GRII, Mengikuti katekisasi dan sakramen baptisan dalam rangka menjawab panggilan Tuhan, masuk kuliah di LSPR Jakarta, bertemu seorang dosen yang akhirnya banyak mengubah cara pikir dan cara pandang saya, mempelajari mengenai dunia Advertising, bertemu dengan seorang ahli kesehatan yang akhirnya menjadi guru saya dalam mempelajari mengenai kesehatan, dan mengetahui senangnya membaca sebuah buku.

Saya terus mengingat perkataan sebuah Professor besar dari Jerman, William Hegel yang mengatakan "Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang pernah belajar dari sejarah".

Beberapa tahun ini saya baru mulai membaca buku. Baik dari bidang Komunikasi, Semiotika, Filsafat, Teologi dan juga Kesehatan.

Semakin hari, semakin belajar membuat saya menjadi orang yang berpikiran logis. Jika hal tersebut tidak masuk akal, saya akan berterus terang menjawabnya.

Saya bukanlah pengikut setia dari Rene Descartes. Tetapi perkataan "Cogito Ergo Sum" mengajarkan betapa pentingya kita untuk membuktikan eksistensi kita melalui berpikir. 

Saya bersyukur setahun ini Tuhan memperkenalkan saya kepada dunia "Kesehatan", saya kurang menyukai istilah "Kedokteran".

Banyak tokoh-tokoh yang menginspirasikan saya untuk boleh terus belajar mengenai dunia Kesehatan ini. Guru saya Erikar Lebang, Ibu Andang Gunawan, Dr. Hiromi Shinya, Dr. Fereydoon Batmanghelidj, Dr. Tan Shot Yen, Dr. Herbert M. Shelton, Dr. Howard Hay, Harvey and Marilyn Diamond, Kathryn Marsden, Prof. Kazuo Murakami, dll.

Pada saat saya bertemu dengan seorang yang terkena penyakit diabetes, dia telah berobat dan menghabiskan biasa yang besar. Akan tetapi saat bertemu dengan saya, dia masih saja meneguk segelas kopi + gula rendah kalori dengan mengatakan "Sedikit doang kok". Saya mengatakan "Tidak akan sembuh".

Saya juga bertemu dengan orang yang sakit asam urat dan darah tinggi. Akan tetapi tetap terus makan tanpa kontrol, minum sesuka hati dengan menenggak berbagai obat-obatan serta suplemen. Sayapun dengan santai mengatakan "Tidak bakal sembuh".

Tanpa disadari, saya mencapai tahap dimana segala sesuatu saya pikirkan secara rasional tana ada perasaan emosi yang terlibat.

Saat bertemu dengan orang yang sakit-sakitan, tidak mau merubah pola hidup, tapi terus menenggak banyak suplemen maupun obat-obatan, lalu disaat-saat kritis mengatakan "Tuhan pasti menyembuhkan!" atau malah tidak jarang mengatakan "Ini penyakit turunan! Kenapa Tuhan memberikan penyakit ini?", saya dalam hati mengatakan "Anda seumur hidup telah hidup dengan suka-suka, yah sekarang terima aja ganjarannya? Gak anehlah? Udah puas toh dari awal makan apapun? Yah sekarang sakit wajarlah?"

Pernah satu kali dari mimbar, Pak Tong pernah memberikan pernyataan yang kurang lebih isinya seperti ini (saya tidak ingat persis) "Saya tahu bahwa orang Reformed kebanyakan memang pasti rasional, tapi kita juga perlu hati/emosi". Beliau memberikan contoh dimana salah satu murid Yesus, yaitu Rasul Yohanes memulai Kitab Yohanes dengan kalimat-kalimat yang menggunakan logika tinggi, tetapi mengakhiri Kitab tersebut dengan kata-kata yang penuh dengan emosi.

Semoga catatan singkat ini dapat menjadi sebuah bukti suatu hari nanti dimana saya diperbolehkan untuk bertumbuh menjadi seorang pribadi yang lebih baik dan lebih mengerti panggilan Tuhan didalam hidup.


Jakarta, 30 Desember 2013


Dino

Comments

Popular Post

6 ciri-ciri pertobatan yang sejati

My Experience - Food Combining VS Autoimmune

Food Combining Changed My Life