I don't have enough faith to be an atheist
Melalui tulisan ini, saya akan menceritakan bagaimana perjalanan hidup dan bagaimana saya menemukan Tuhan. Sebetulnya kalimatnya kurang tidak tepat. Mengapa saya mencari dan akhirnya menemukan Dia? Apakah selama ini Dia hilang hingga perlu dicari? Bukankah Ia selalu ada di sana dan tidak pernah berubah? Lalu mengapa saya yang secara aktif mencari dia? Siapa yang hilang? Saya atau Dia?
Saya percaya bahwa manusia tidak akan mungkin bisa menemukan Tuhan. Manusia yang telah jatuh dalam dosa, telah kehilangan kemampuan untuk bisa berinteraksi dengan Tuhan. Lalu bagaimana mungkin bisa menemukan Tuhan? Satu-satunya alasan seseorang bisa bertemu dengan Dia adalah karena Dialah yang secara aktif datang dan mencari kita.
Semenejak lahir, saya berada dalam keluarga yang memiliki kondisi ekonomi sangat baik. Jangankan kebutuhan, segala keinginan pun selalu saya dapatkan. Hal ini membuat saya hidup terlalu tenang, nyaman, dan tentunya tidak pernah mengerti betapa sulitnya mencari uang. Kehidupan yang sedemikian nyaman ini membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang sangat lemah (mental), dan tidak merasa perlu berusaha keras dalam hal apapun.
Sejak kecil kemampuan saya dalam bidang akademis saya sangat-sangat biasa sekali, bahkan cenderung kurang. Sejak kecil saya mendapatkan kesempatan untuk belajar berbagai bahasa, khususnya (Inggris, Mandari, kemudian Jerman). Tetapi saya tidak memanfaatkannya dengan baik (bahkan gak naik kelas bhs Inggris, dan minta untuk berhenti). Mungkin itu salah satu keputusan paling bodoh yang pernah saya ambil.
Dalam segi agama, keluarga saya bisa dibilang tidak terlalu religius. Ada sedikit campuran antara agama Budha dan Kristen, yang saya jalankan tanpa pernah mengerti keduanya. Sejak TK hingga SD kelas 5 setengah (Semester 1), saya menempuh pendidikan di sekolah Kristen, Methodist. Sejak kecil sudah beberapa kali pergi ke gereja, mengikuti kebaktian, dsb. Tetapi semua itu rasanya hampa.
Sehingga kalo mau jujur, kehidupan religius dan sehari-hari menjadi sebuah dikotomi yang tidak berkaitan antar satu dan lainnya. Tetapi akhirnya semua itu berubah. Ada sebuah peristiwa penting yang terjadi pada saat saya kelas 5 SD, kira-kira waktu itu saya berumur 10 tahun.
Kehidupan ekonomi yang semula begitu mapan, seketikapun lenyap. Hari demi hari, kondisi ekonomi kami semakin memburuk, bahkan nyaris bangkrut (meskipun akhirnya bangkrut juga). Oleh karenanya, saya harus berpindah-pindah, baik dalam segi tempat tinggal maupun sekolah selama berkali-kali (SD Methodist-> SD Citra Kasih -> SD Budi Pekerti -> SMP Isa Almasih -> SMA Yadika).
Bila sebelumnya saya bisa makan apa saja yang saya mau, sekarang bisa makan aja udah bersyukur. Jika sebelumnya tinggal di rumah yang begitu besar dan tinggi, sekarang hanya tinggal di kamar kecil berukuran 2 x 2 Meter. Saya bahkan masih ingat banyak momen-momen yang begitu sulit. Salah satunya dulu waktu Ibu saya membeli makanan. Saya ingat sekali kalo beliau itu tidak suka makan nasi banyak-banyak. Tapi kok sekarang kalo beliau beli makanan, nasinya itu buanyaknya minta ampun sedangkan lauknya dikit sekali, itupun paling cuma satu jenis.
Saya ingat saat itu beliau menjawab, "Iya makan nasinya yang banyak, biar sehari cuma makan sekali". Momen itu barulah saya menyadari bahwa hidup kami telah berubah. Jika itu cara Ibu saya untuk berhemat, saya juga memiliki cara tersendiri. Sepulang sekolah, saya biasanya bermain ke tempat tetangga saya hingga sore hari. Saya tahu bahwa keluarga mereka memiliki kebiasaan untuk makan malam pada jam 6 sore, jadi jika saya masih di sana hingga jam tersebut, pasti saya diajak untuk makan bersama. Lumayanlah, hemat bukan?
Di tengah-tengah kesulitan yang kami hadapi, beberapa kali keluarga dari Ibu saya datang mengunjungi kami (kebanyakan Kristen). Selain membantu kami dari segi keuangan, mereka juga selalu menghibur dan mengajak kami untuk berdoa bersama. Saya tidak ingat persisnya mulai kapan, tetapi Ibu saya selalu mengingatkan saya untuk selalu berdoa kepada Tuhan untuk meminta pertolongan.
Kedengarannya memang sangat klasik, keluarga yang hidup nyaman dan tidak ingat Tuhan, kemudian akhirnya jatuh dalam kesulitan besar sehingga akhirnya ingat Tuhan. Hari demi hari berlalu, dan saya belajar untuk menyesuaikan diri. Meskipun sesekali mengingat masa lalu yang nyaman, tetapi mulai bisa untuk menerima kondisi sekarang ini. Di malam hari sebelum tidur, biasanya ingatan mengenai momen-momen bahagia itu muncul, dan biasanya saya mulai menangis hingga akhirnya tertidur.
Pada saat-saat ini saya sangat sering berdoa, bertanya secara pribadi kepada Tuhan (Saat itu saya sepertinya Kristen, tetapi masih tidak jelas). Saya bertanya kepadaNya, kenapa semua ini bisa terjadi? Bukankah selalu diajarkan bahwa Tuhan itu baik adanya? Lalu kok saya begini? Saya percaya Tuhan itu maha kuasa adanya, sehingga segala sesuatu jika terjadi pasti karena Dia mengizinkannya. Tapi jika Tuhan itu baik, kenapa Dia mengizinkan? Sebaliknya, jika Dia mengizinkan kesulitan terjadi, apakah itu berarti Dia tidak baik? Setiap malam saya bertanya-tanya tanpa mendapatkan sebuah jawaban.
Sebelumnya saya sudah menyinggung bahwa keadaan mengharuskan saya berpindah-pindah sekolah berkali-kali. Hal ini menyebabkan saya tidak punya banyak teman masa kecil, lah gimana? Baru kenalan sebentar, tau- tau udah pindah lagi. Ada sekolah yang pergaulannya baik, ada juga yang tidak. Waktu saya SD kelas 6, beberapa teman saya sudah mulai merokok dan memasang tato. Bahkan ada yang berani menaruh rokok di kantong baju seragamnya dan memperlihatkannya ke guru-guru.
Hingga detik ini, saya sangat heran sekali kenapa dulu masih ada guru yang mau untuk mengajar kami. Gaji mereka itu kecil sekali, tapi kok mau mengajar ke murid-murid bajingan seperti kami. Tetapi dalam situasi itu, saya tidak pernah ikut-ikutan. Tapi memang anehnya, sekalipun teman-teman saya begitu bandel, tetapi mereka tidak pernah memaksa. Lu mau coba silahkan, enggak pun ya udah. Gak jadinya di jauhi atau apalah itu.
Anyway, alasan saya tidak ikut-ikutan mereka itu cuma ada 2:
Pertama, ga ada duit. Mau makan aja susah payah, gimana mau beli rokok, minuman, dll?
Kedua, Ibu saya sudah sering memberikan peringatan untuk tidak ikut-ikutan hal seperti itu.
Saya tidak merasa saya hebat sama sekali untuk bisa menolak hal tersebut. Jika anda dalam posisi saya (Tinggal berdua sama Ibu dalam kondisi susah setengah mati. Ibu saya malah pernah lho jadi tukang cuci baju + setrika), masa sih elu masih berani untuk aneh-aneh?
Dalam percakapan empat mata, Ibu saya mengaku pernah terpikir untuk bunuh diri (kalo ga salah mau minum Baygon), tetapi hal teresebut tidak dilakukan karena ingat sama saya. Ya saya juga sama, sempat terpikir untuk bunuh diri cuma ya enggak dilakukan.
Satu-satunya alasan kami bisa melewati segala kesulitan itu ya cuma 1, yaitu HARAPAN. Setiap masa sulit, kami cuma bisa berdoa dan berharap, tentunya berharap kepada Tuhan. Dalam kondisi apapun, kita cuma bisa berharap kepada Tuhan. Tidak ada yang lain, apakah itu saudara, teman, keluarga, kekayaan, kepintaran. Semua itu hanya akan menimbulkan kekecewaan. Hanya Tuhanlah, satu-satunya yang tidak mengecewakan, sebab Dia setia adanya.
Beberapa minggu yang lalu, sebelum perkuliahan dimulai (saya sedang studi S2), ada teman yang sedang bercerita satu sama lain. Dia bercerita bahwa hidupnya sangat sulit, sehingga untuk melupakan kenyataan, dia perlu mencurahkan segala perhatiannya pada hal yang lain. Terkadang, kalo kita sedang kesulitan, ada teman kita datang menghibur dan suruh untuk berdoa. Kita mungkin pikir kok klise sekali ya, kasih hiburan yang lebih kongkrit kek.
Tetapi kalo kita mau jujur memang cuma itu satu-satunya pemberi harapan dan yang tidak akan mengecewakan. Melanjuti perjalanan hidup (cerita SMP hingga SMA saya skip dulu. Kalo ada waktu dan Tuhan izinkan, akan saya tulis), saya akhirnya mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan aktif pergi ke gereja.
Jika sebelumnya hanya doa tanpa tau kepada siapa saya berdoa, saya akhirnya belajar untuk mengenal siapa itu Tuhan. Saya mulai membaca Alkitab secara rutin, belajar teologi yang bertanggung jawab, membaca buku, mendengar khotbah, dan memantapkan diri menjadi seorang Kristen.
Saya berlutut, berdoa, berjanji untuk hidup benar di hadapan Tuhan, dan akhirnya di baptis pada Desember 2012. Selanjutnya, di bagian bawah ini saya akan menekankan beberapa poin dengan keras. Sebaiknya, jika yang ga sanggup baca mendingan jangan baca.
Semenjak saya memasuki Studi S2, saya banyak mendapatkan pelajaran mengenai Filsafat. Saya ingat ada satu kelas, di mana dosen saya mengajar bahwa tidak ada yang namanya kebenaran mutlak, semua itu hanya soal sudut pandang (Post Modern). Beliau memberikan contoh sebuah benda yang ditaruh di sisi belakang benda lainnya. Jika melihat dari depan, tampaknya benda yang kedua tidak ada, tapi jika dari belakang, bendanya ada.
Jujur saja, menurut saya itu kebodohan luar biasa. Contoh dari beliau justru hanya membuktikan bahwa sekalipun menurut kita tidak ada, tetapi sesungguhnya tetap ada. Masakan ada orang depan kita, lalu kita tutup mata, lalu kita beranggapan orang tersebut tidak ada? Suka atau tidak, kebenaran mutlak itu tetap ada.
Cara berpikir inilah yang nantinya ditarik, hingga menentukan bahwa semua agama itu sama. Saya kasih contoh yang gampang ya. Saya suka sekali dengan melon, sekali lihat tau bedanya antara Honey Dew, Rock, Sky Rocket, Sakata, dll. Sedangkan orang awam, lihatnya semua melon itu sama. Pendapat ini dan itu adalah sama, cuma menujukkan betapa kita ga mengerti suatu hal secara mendalam.
Buat orang awam semua mobil itu sama, padahal buat orang yang ngerti, beda merek jelas udah beda mobil. Memang betul, setiap mobil punya kesamaan, tapi tidak menjadikan mereka itu sama. Balik lagi ke agama. Setiap agama memang punya kesamaan, misalnya cinta kasih. Tapi tidak serta merta membuatnya menjadi sama. Herannya biasanya statement tersebut diutarakan oleh orang-orang pintar yang sudah studi tentang logika.
Sebagai contoh, Kristen bilang Yesus itu anak Allah yang turun ke dunia untuk menebus dosa manusia, Dia mati lalu bangkit. Sedangkan agama lain mengatakan kalo Dia bukan Tuhan, cuma guru biasa aja. Lalu kok bisa muncul klaim bahwa semua agama sama? Saya sadar kita hidup dalam masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. Tetapi saya perlu tekankan bahwa: suka atau tidak, waktu kita mempercayai agama kita sebagai kebenaran, kita sedang mengklaim bahwa agama lain itu salah. Ini fakta yang perlu kita sadari. Kita memang harus menghormati dan mencintai satu sama lain. Lagipula gak karena kita beda agama lalu kita harus berantem sama orang lain kan?
Kembali ke poin awal, perjalanan hidup saya sejak lahir telah menjadi sebuah bukti bagi saya sendiri bahwa Tuhan itu pasti ada. Saya sangat sedih sekali, saat mendengar ada beberapa teman yang akhirnya berhenti untuk ke gereja. Mereka pikir mereka sedang menolak Tuhan, padahal itu artinya Tuhan sudah membuang mereka. Sebab suatu rasa kerinduan untuk terus mengenal Dia itu adalah sesuatu yang Tuhan berikan. Itu sebabnya, meskipun kita sudah percaya kepada Tuhan, dan mungkin sudah terlibat di dalam pelayanan, kita perlu terus doa dan minta suatu kerinduan untuk terus mengenal Dia.
Bagi mereka yang menyebut diri sebagai seorang atheis (percaya Tuhan sih, cuma mau hidup suka-suka aja), saya tidak bisa memaksa kalian untuk bertobat. Tetapi buat saya secara pribadi, saya tidak mungkin dan tidak punya iman yang cukup untuk mengklaim diri seorang atheis. Semoga kiranya kita semua punya hati yang lembut, bulat, dan hanya memandang kepadaNya.
1 Korintus 15:58: Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
Soli Deo Gloria
Dino Sugirun
Comments
Post a Comment